Oleh: Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
Kemarin ada usulan yang baik diungkapkan oleh Anggota DPR dari PPP Arsul Sani, ia mengusulkan untuk mencegah kepala daerah tidak melakukan korupsi maka sanksi diberikan kepada Partai Politik dengan melarang ikut Pilkada di daerah yang kadernya melakukan korupsi.
Usulan ini memang menarik untuk dikaji, dipikirkan perumusan pengaturannya, siapa yang berhak menentukannya, prosedurnya seperti apa,agar terinci dalam sebuah aturan berupa undang-undang misalnya. Sebab, meski terbukti kadernya melakukan korupsi tetapi partai politik selalu terbebas dengan sanksi. Acuan yang selalu digembar-gemborkan hanya sanksi oleh Pemilih semata, seperti fenomena korupsi kader Partai Demokrat yang akhirnya sanksi pemilih mendera Partai Demokrat selama 12 tahun ini.
Partai Demokrat yang pada Pemilu 2009 berjaya dengan memperoleh suara mayoritas dengan angka sebesar 20,85 persen, akhirnya mengalami penurunan pada dua pemilu setelahnya, dengan terjun bebas di Pemilu 2014 menjadi 10,19 persen, dan Pemilu 2019 menjadi 7,70 persen.
Meski begitu, korupsi malah semakin menggila, bahkan sudah memasuki di daerah-daerah tak sekadar fenomena tingkat nasional/pusat semata. Tampaknya, Pilkada tak sekadar terciderai oleh fenomena Pilkada Calon Tunggal dan Dinasti Politik semata, tetapi juga turut menjadi ladang korupsi menjamur.
- Baca Juga : Pancasila Dan Nilai – Nilai Kearifan Lokal
- Baca Juga : Wagub Banten Ingin Perencanaan Pembangunan Berbasis Teknologi Tepat Guna
Realitas Pilkada
Pilkada memang menjadi pembicaraan yang menyita perhatian publik. Pembicaraannya bukan tentang keberhasilan penyelenggaraan pilkada yang telah berjalan secara periodik. Melainkan berbagai sisi negatif dari Pilkada seperti dari terjadinya anomali Pilkada Calon Tunggal dan juga fenomena Dinasti Politik yang semakin meluas.
Persoalan korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah tidak sekadar kita melihat dalam rangkaian kecil ini adalah kader partai. SebabDinasti Politik yang disoroti oleh KPK adalah faktor terjadinya korupsi kepala daerah. Dinasti politik ini telah berkelindan dengan fenomena calon tunggal, seperti dari 25 Calon Tunggal Kepala Daerah yang berhimpit dengan dinasti politik sebanyak 13 calon tunggal atau sebesar 52 persen.
Fenomena calon tunggal dan dinasti politik dapat terjadi ini dikarenakan konsep politik yang digunakan oleh partai politik adalah ingin mewujudkan politik kewarisan dari penguasaan daerah pemilihan sehingga dibangun dengan mendasarkan kepada semangat nepotisme.
Partai politik hanya berpikir mengenai kemenangan semata, maka penilaian terhadap sosok calon lebih didasarkan kepada popularitas dan kekuatan sumber daya finansial semata. Sisi ini semakin terasa bahwa mekanisme party system telah menghasilkan proses elitis atau patronase dalam mengusung calon kepala daerah. Kondisi terakhir yang mencemaskan, fenomena ini menunjukkan bahwa partai gagal menjalankan fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik.
Rekrutmen politik tidak sekadar dimaknai adanya calon yang diusung semata, tetapi terjadinya rotasi kekuasaan dan sistem rekrutmen partai yang tertutup. Semestinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan politik yang dipilih oleh rakyat memiliki kesempatan yang sama, bukan malah sistem kontestasi yang tertutup dengan semangat nepotisme.
Menyusun Usulan Sanksi
Jika dipelajari dengan seksama telah jelas jika terkait Pembubaran Partai Politik dapat dipelajari dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tepatnya Pasal 68, dalam ayat (1) dijelaskan terkait pemohon yang dalam hal ini adalah pemerintah. Sedangkan dalam Ayat (2) berisi mengenai persyaratakan dan/atau mekanisme pembubaran partai politik dengan acuan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Merujuk hal ini yang perlu dipahami bahwa terkait pembubaran mengenai legal standing ada di tangan pemerintah.
Tentu saja hal ini terkait dengan pembubaran partai politik, berbeda makna dengan sanksi bahwa partai politik tidak boleh mengikuti pemilihan umum karena terbukti korupsi. Jika merujuk terhadap hal ini, maka fokus utamanya harus kepada syarat partai politik dalam mengusung pasangan calon kepala daerah.
Untuk sampai kepada hal ini tentu saja perdebatannya juga cukup luas dan memakan waktu yang panjang. Sebab acap dibangun asumsi bahwa jika korupsi itu terjadi, tak serta merta kesalahan ditimpakan kepada partai politik, sehingga cukup kepada pelakunya. Meski begitu kita jangan lupakan bahwa partai politik di Indonesia mayoritas tak dibangun atas dasar kesamaan tujuan dan harapan, melainkan dibangun atas kepentingan perorangan semata.
Sehingga partai politik di Indonesia bangunannya berwujud personalisasi politik.Maksudnya aktor individulebih utama dibandingkan identitas kolektif maupun partai politik itu sendiri. Wajar, jika kegiatan kepartaian, penentuan calon, akan terpusat kepada misalnya pimpinan partai, majelis syuro, dan/atau elite-elite di tingkat pusat.
Dengan pemahaman ini, maka dapat dirumuskan persepsi bahwa perilaku korupsi dibangunkembangkan atas dasar persepsi semangat nepotisme dari petinggi partai. Oleh sebab itu, wajar jika kita mengajukan proses sanksi berupa mengeliminasi keikutsertaan partai politik pada suatu daerah dalam kancah pilkada ketika terbukti kader kepala daerahnya melakukan tindak korupsi.
Langkah untuk merumuskan ini yang tentu saja cenderung sulit, misal mengenai siapa yang berhak untuk menjatuhi sanksi. Jika disederhanakan tentu bisa juga mudah, seperti serahkan saja kepada KPU, layaknya proses administrasi pencalonan bagi calon independen terkait dukungan KTP sebagai pemenuhan persyaratan bisa ditetapkan sebagai peserta calon kepala daerah. Untuk memproses ini tentu saja perlu pembuktian, maka pembuktian ini adalah dokumen diri calon yang menunjukkan dirinya berafiliasi sebagai calon dari salah satu partai tertentu meski didorong berdasarkan koalisi partai-partai politik, dapat pula bekerjasama dengan lembaga-lembaga yudisial yang sedang memproses hukum tersangka berdasarkan rekaman bukti sidang, maupun penelusuran berdasarkan masukan dari masyarakat.
Memang perincian ini masih sangat prematur, tetapi tulisan ini ingin menunjukkan semangat mereformasi kepartaian. Demokrasi jangan dijadikan sebagai lahan tumbuh subur semangat nepotisme dengan asumsi yang pentingkan makna dipilih oleh rakyat. Memang rakyat yang memilih, tetapi pilihan siapa calon yang diusung itu ditentukan oleh partai politik bukan oleh rakyat, rakyat hanya menentukan siapa yang terpilih.
Mengasumsikan bahwa rakyat berhak untuk tidak memilih, golput, realitasnya hingga kini selalu rakyat dianggap tak acuh, mereka dianggap tidak peduli terhadap kehidupannya, terkesan memilih itu adalah kewajiban bukan hak.Oleh sebab itu, semangat reformasi partai juga harus hadir dari partai-partai politik itu sendiri, bukankah sanksi partai tidak dapat mengikuti pilkada di suatu daerah jika terbukti kadernya yang menjadi pejabat daerah merupakan bagian semangat sederhana berupa penyederhanaan partai politik. ***