Lagi, Wacana Calon Presiden-Wakil Presiden Perseorangan

Oleh: Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) kembali mengulirkan isu lama terkait keinginannya mengamandemen kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan tujuan penguatan peran dan fungsi DPD. Memang sejak DPD pertama, langkah untuk menggolkan amandemen kelima UUD 1945 sudah diupayakan, bahkan sudah disusun upaya usul Amandemen kelima UUD 1945 secara komprehensif, dengan DPD melibatkan beberapa pakar hukum tata negara. Hanya saja, usulan ini berhasil digagalkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dengan perlahan namun pasti, melalui melakukan pencabutan dukungan atas rencana amandemen UUD 1945.

Dalam perkembangan DPD hingga periode ini, langkah untuk penguatan diri DPD perlahan meredup hingga tak terdengar lagi. Ternyata DPD saat ini berupaya untuk mewacanakan hal lain yang juga sempat menjadi isu yang hangat setiap menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yakni tentang kesempatan calon perseorangan (ada juga yang menyebut sebagai independen). Isu ini kembali digulirkan oleh DPD.

Hanya saja pembahasan ini meluas tidak tentu arah. Seperti Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, mendukung DPD diberikan hak untuk mencalonkan diri pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada pemilu. Bahkan Sutarmidji menyatakan, jumlah anggota DPD RI itu 24 persen, yang artinya ambang batas dan seharusnya bisa mencalonkan presiden (FB Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia – DPD RI, 27 Oktober 2021). Dalam laman yang sama, juga dimuat pernyataan LaNyalla Ketua DPD, yang mengungkapkan berdasarkan hasil Survei Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) yang dirilis 22 Mei 2021 lalu. Hasilnya, 71,49 persen responden menyatakan calon presiden tidak harus kader partai. Wacana yang digulirkan oleh DPD ini menarik untuk kita pelajari.

DPD dan Calon Perseorangan

Isu capres perseorangan memang sudah lama bergulir, bahkan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah menutup peluang capres perseorangan dan/atau independen telah hadir sejak 2008 lalu. Capres-cawapres perseorangan dan/atau independen juga telah dipatahkan oleh asumsi yang dibangun oleh politisi-politisi partai dengan juga berbagai realitas yang menyertainya.

Wakil Presiden perseorangan/independen dianggap juga sudah pernah dimiliki oleh Indonesia dengan terpilihnya Boediono berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009. Bahkan, hal yang sama juga terjadi dengan terpilihnya Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 kemarin.

Ini menunjukkan bahwa kesempatan bagi orang-orang yang tidak berpartai untuk diusung sebagai capres-cawapres tentu tidak ditutup peluangnya. Bahkan, ke depannya, Pemilu 2024 kans Anies Baswedan dan Ridwan Kamil yang merupakan sosok politisi perseorangan dapat diusung oleh partai-partai politik, berdasarkan elektabilitas Anies Baswedan dan Ridwan Kamil yang tinggi.

Anies Baswedan sejak 2016 lalu memang diajukan oleh kalangan masyarakat sipil, yang kemudian dua partai politik yakni Gerindra dan PKS resmi mengusul Anies Baswedan dan Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta, dan pasangan ini menang dan terpilih di putaran kedua. Saat ini sosok Anies Baswedan yang tidak berpartai, yang dianggap merupakan calon perseorangan dan/atau independen ini mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat dengan menempati urutan ketiga besar dibandingkan sosok lainnya yang perseorangan/independen yakni Ridwan Kamil yang berada di posisi lima besar.

Wacana yang digulirkan oleh DPD saat ini, dapat dilihat dalam berbagai pengamatan dan penilaian. Asumsi dasar yang kontra mudah menyatakan bahwa DPD saat ini berteriak capres-cawapres independen/perseorangan karena mereka kehilangan panggung di media. Anggota-anggota DPD yang berjumlah 136 orang yang merupakan represetasi pemilu perseorangan dengan sistem pemilihan distrik berwakil banyak, juga representasi langsung dari masyarakat di daerah. Hanya saja, nama-nama politisi DPD tidak masuk dalam berbagai survei terkait elektabilitas orang-orang yang dikenal, dianggap pantas oleh masyarakat sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Suara DPD sudah dua periode ini lebih sunyi dibandingkan dua periode sebelumnya. Meski nama-nama besar  terpilih sebagai anggota DPD, tetapi tak juga kita bisa abaikan bahwa anggota DPD dari mulai pemilihan hingga terpilih tidak lepas dari irisan sebagai politisi partai, anggapan yang menyertai bahwa DPD sekarang ini “rumah bagi politisi tua partai.”

Di sisi lain, DPD senyap juga terjadi ketika periode kedua DPD, Ketua DPD Irman Gusman yang mencoba peruntungan sebagai calon presiden dengan mengikuti Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat yang konvensinya juga berakhir anti klimaks.Tetapi dampaknya menghilangkan kans dan manuver Irman Gusman untuk bermanuver dalam Pilpres diusung dari berbagai koalisi sebagai calon perseorangan/independen.Bahkan, karier Irman Gusman yang terpilih kedua kalinya sebagai Ketua DPD malah berakhir di hotel prodeo setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan pada 2016.

Tentu saja, jika DPD yang mengusungkan calon presiden dan wakil presiden tidak layak, melanggar konstitusi, dan langkah bodoh. Sebab, DPD adalah lembaga perwakilan rakyat, posisi DPD adalah suprastruktur politik yang dalam konteks trias politika DPD adalah lembaga legislatif dengan bersama DPR (keduanya bagian dari anggota MPR), DPD tentu saja lembaga parlemen yang berfungsi mengawasi presiden dan juga bekerjasama dengan presiden dalam menyusun rancangan undang-undang maupun terkait anggaran.

Jadi, jelas posisi DPD tidak bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden dengan bertingkah seperti partai politik. Apalagi jelas dinyatakan yang berhak mengusulkan presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A ayat (2)). Tetapi bukan berarti kans anggota DPD untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden tertutup. DPD secara perorangan bisa saja, misal, menggulirkan wacana salah satu sosok pimpinan DPD layak kok dipilih oleh masyarakat sebagai presiden alternatif. Meski keputusan akhir ada di tangan partai politik dan/atau koalisi partai politik.

Asumsi yang pro tentu saja mereka menggunakan pengamatan bahwa Pemilu 2014 dan 2019 adalah preseden buruk dari kinerja partai-patai politik. Indonesia menerapkan sistem multipartai tetapi calon presiden dari partai politik dan/atau koalisi partai politik malah berbentuk rematch antara Joko Widodo (Jokowi) dengan Prabowo Subianto. Ini menunjukkan partai-partai politik di Indonesia bermasalah dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik. Di sisi lain, koalisi partai politik hanya bersifat pragmatis semata.

Demokrasi di Indonesia dapat dikatakan demokrasi yang sedang mengalami krisis calon presiden-calon wakil presiden. Inilah yang terjadi dari sikap pragmatis partai politik, juga tidak berjalan baiknya fungsi rekrutmen politik, akhirnya masyarakat hanya diasumsikan pada permasalahan dua pasangan calon atau tiga pasangan calon semata, tetapi mengabaikan pendidikan politik bagi masyarakat. Dasar inilah bangunan dari pernyataan Indonesia sedang krisis calon presiden-calon wakil presiden.

Calon-calon terbaik ditahap akhir memang ditentukan oleh partai politik, tetapi partai politik tanpa semangat memberikan kesempatan bagi banyaknya calon presiden dan wakil presiden untuk diusung. Kita terjebak nama-nama calon hanya sebatas hasil survei, konvensi pun beberapa kali juga diakhiri anti klimaks, pragmatis partai dan/atau koalisi telah memunculkan calon presiden dan calon wakil presiden yang dengan jumlah sedikit. Ini bukan semata ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) saja, tetapi ini memang perilaku elite-elite partai yang gagal melakukan rekrutmen politik dan berpola pikir pragmatis semata. 

Permasalahan itulah yang mendasari perlunya calon presiden alternatif dengan membuka kesempatan bagi calon presiden dan wakil presiden berasal dari calon perseorangan. Rumusan dasar sudah dihadirkan dengan baik oleh DPD RI dalam merumuskan naskah komprehensif Amandemen UUD 1945 versi DPD pada tahun 2008 lalu, diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politk peserta pemilihan umum dan/atau berasal dari calon perseorangan.”

Merancang Amandemen Kelima

Wacana dan keinginan Amandemen Kelima UUD 1945 sedang bergulir kencang. Setelah Ketua MPR mewacanakan amandemen terbatas dengan keinginan mengusulkan dihadirkannya (kembali) Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), agar tercapainya filosofis dan arahan pembangunan nasional untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Ringkasnya, agar terjadi keselarasan jangka panjang dalam pembangunan nasional yang dihadirkan dalam visi dan misi presiden terpilih agar sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Namun, wacana Amandemen terbatas UUD 1945 berdasarkan hasil Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ditolak oleh masyarakat, dengan rincian sebesar 66 persen masyarakat tidak setuju dengan rencana perubahan atau amandemen UUD 1945. Masyarakat menilai UUD 1945 adalah rumusan terbaik untuk Indonesia. Sementara itu, terdapat 12 persen responden yang memandang UUD 1945 mungkin ada kekurangan karena hasil buatan manusia. Namun mereka melihat sejauh ini UUD 1945 paling tepat bagi bangsa Indonesia. Jadi, jika ditotal maka sebanyak 78 persen masyarakat (responden) yang tidak menghendaki perubahan pada UUD 1945.

Di sisi lain, hasil survei itu juga menjelaskan ada 11 responden yang berpendapat beberapa pasal dari UUD 1945 perlu diubah atau dihapus. Kemudian, hanya 4 persen responden menilai sebagian besar UUD 1945 harus diubah. Sisanya atau sebanyak 7 persen responden menjawab tidak tahu, (beritasatu.com, 15 Oktober 2021).

Berdasarkan asumsi di atas, penulis memang merasa bahwa wacana Amandemen Kelima UUD 1945 perlu dibuka kembali tetapi amandemen sebaiknya dilakukan dengan cara yang komprehensif. Tak sekadar untuk mengakomodasi calon presiden perseorangan semata, tetapi juga melakukan konsolidasi terhadap sistem presidensial. Bagi Penulis, rencana amandemen memang sudah semestinya digulirkan, didiskusikan kembali, tetapi bukan dengan semangat pragmatisme politik semata, apalagi hanya dalam waktu singkat. Sebab, perlu diingatkan bahwa semangat Amandemen Kelima UUD 1945 terbagi menjadi beberapa posisi yakni: pertama, semangat untuk kembali kepada UUD 1945 yang lama, kedua, semangat untuk perubahan pragmatis semata seperti: PPHN, Periode Jabatan Presiden, Memperjelas Sistem Parlemen, dan ketiga, semangat untuk membangun kembali bangunan sistem politik yang lebih baik. Di sisi lain, adanya keinginan untuk tidak melakukan kembali amandemen UUD 1945, yang juga tidak dapat kita lupakan. Oleh sebab itu, wacana amandemen UUD 1945 harus dibawa dalam diskusi akademis bukan dibawa dalam semangat politik pragmatis semata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *