Dofiri – Merdisyam, Duet Intel Polri Untuk Cegah Kejahatan

Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian

ENTAH untuk yang keberapa kali Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo (Akpol 1991) memutasi anak buahnya. Terakhir, di penghujung Oktober 2021 ada beberapa rombongan beringsut terbawa dalam formasi gerbong mutasi.

Di antara mutasi-mutasi yang terakhir itu terdapat mutasi-promosi menyusul pensiunnya Kabaintelkam, Komjen Pol. Paulus Waterpau (Akpol 1987). Waterpau, putra Papua, digantikan oleh Irjen Pol. Ahmad Dofiri, Kapolda Jabar.

Di pucuk pimpinan Intelkam Polri, Dofiri yang lulusan terbaik/ peraih Adhimakayasa Akpol 1989, berduet dengan juniornya, Irjen Pol. Merdisyam (Akpol 1991) sebagai wakabaintelkam. Keduanya, boleh dibilang, “wajah baru, stock lama” dalam dunia intelijen Polri.

Sejak 27 Januari 2021, Jenderal Sigit, mantan ajudan Presiden Jokowi, memimpin Polri, ke depan cepat atau lambat mutasi pasti masih akan terjadi beriringan dengan proses regenerasi. “Last but not least!”

Mutasi tak bisa dilepaskan dari cita-cita untuk berubah menjadi lebih baik. Filsuf Yunani kuno, Heraclitos mengatakan, “nothing endures but change” (tak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri). Bahkan pujangga, pendidik, kolumnis, dan politisi kulit hitam Amerika, Melvin Beanorus Tolson (1898 – 1966) menulis, “Karena kita hidup di alam semesta yang berubah-ubah, mengapa manusia menentang perubahan?”

Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) adalah komponen penting dari Polri di negara modern Indonesia. Lantas ke depan, model dukungan besar macam apa yang diharapkan dari Intelkam menuju Polri polisi sipil?

Bagian dari Perlawanan Bersenjata BICARA Indonesia, Polri yang pernah menjadi bagian dari militer, tak bisa dilepaskan dari sejarah negeri ini. Prolog menuju Indonesia merdeka (17 Agustus 1945) membuktikan hal itu. Jadi historikal, Polri itu bagian penting dari perjuangan bersenjata membebaskan diri dari penjajah.

Bahkan, Polri yang ketika itu “Polisi Repoeblik Indoensia” (PRI) terlibat langsung dan menjadi bagian penting mempertahankan Indonesia merdeka dalam “Peristiwa Soerabaya, 10 November 1945”. Pada peristiwa amat bersejarah bagi bangsa yang baru tiga bulan memproklamasikan kemerdekaannya ini, dipimpin oleh putra Bau-Bau, Sultra, M. Jasin (9 Juni 1920 – 3 Mei 2012). Bapak Brimob ini terakhir jenderal polisi bintang tiga (Komjen). Ia berpulang Sembilan tahun lalu dan jenazahnya dimakamkan di TMP Nasional Kalibata, Jaksel.

Pasca proklamasi kemerdekaan hingga era Orde Baru (Orba), ternyata tidak mudah bagi Polri melepaskan diri dari ruh militer, baik legal formal, maupun (terlebih lagi) realitas kultural. Bahkan, di masa Orba, politik Pemerintah yang amat dipengaruhi oleh penguasa dan lingkar oligarkinya yang otoriter berciri kental represif. Harus diakui sepanjang masa itu, Polri tak ubahnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Meski bukan yang utama, saking lekatnya dengan identitas militer, Polri di masa Orba kerap dijuluki bungsunya ABRI.

Runtuhnya Orba (Mei 1998) membawa perubahan Indonesia dalam tekanan besar mahasiswa – masyarakat yang kerap disebut-sebut reformasi. Terkait posisi Polri, kristalisasi jiwa dari cita-cita kuat untuk berubah terakomodasi dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Kemudian, lahirlah UU RI No.2 Tahun 2000 tentang Kepolisian yang menegaskan perubahan posisi Polri di luar TNI. Sementara ABRI berubah menjadi TNI (lihat UU RI No. 34 tahun 2004 tentang TNI).

Kata dasar dari berubah dan perubahan yaitu “ubah”. Kata “ubah” diartikan menjadi “lain (berbeda) dari semula”. Sementara “perubahan” dapat diartikan “hal (keadaan) berubah” (KBBI, 2002: 1.234). Bila menyimak kata “ubah” dalam perubahan dan berubah, maka di situ ada proses mengubah. Jadi, dalam pembahasan ini adalah proses perubahan menjadi sosok polisi sipil, yaitu polisi beradab di negara modern. Ciri utama negara modern tidak berazas kekuasaan, melainkan berazas hukum. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Polri.

Mutasi bukanlah sekehendak hati atau sesuai selera dan kepentingan pimpinan mengutak-atik personel dari satu posisi ke satu posisi lain dalam struktur organisasi. Mutasi termasuk wujud dari keinginan mengubah agar terjadi proses mengubah menuju perubahan yang lebih baik. Mengubah organisasi berikut strukturnya jauh lebih gampang ketimbang mengubah kultur manusianya. Maka, perubahan dari kultur lama ke kultur baru tidak mudah, karena menyangkut manusia yang punya banyak keinginan. Tak jarang cuma atas dasar suka-suka si pemilik keinginan.


Polri adalah organisasi dari profesi tertentu yang khas. Artinya, profesi Polri tidak tergantikan oleh profesi lain. Ini seperti halnya dokter yang ketika menunaikan kewajibannya tidak bisa digantikan oleh profesi lain (kecuali pada  batas-batas tertentu “dapat” dilakukan oleh yang punya kemiripan, yaitu bidan dan perawat). Juga, profesionalisme polisi, tidak bisa tergantikan oleh profesionalisme TNI. 


Untuk perubahan kultur (culture change) menuju polisi yang berkultur sipil, Polri perlu menetapkan semacam corporate culture yang khas seperti dilakukan oleh suatu perusahaan tertentu dalam membangun budaya organisasinya. Konsitusional, UUD RI 1945 membimbing lewat Pasal 30 (2) bahwa …melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama, rakyat sebagai kekuatan pendukung. Kemudian,  pada Pasal 30 (4) disebutkan pula, Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menegakkan hukum. 


Pada tataran operasional, UU RI No. 2/ 2002 tentang Kepolisian hal itu makin nyata sebutkan dalam Bab III tentang Tugas dan Kewenangan. Pasal Pasal 13 diurai: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b) menegakkan hukum, dan c) memberikan pengayoman (perlindungan) dan pelayanan kepada masyarakat.


Dalam kalimat sederhana dapat dikatakan fungsi dan tugas Polri itu bukan sekadar menegakkan hukum. Dalam konteks represif (menindak), penegakkan hukum menjadi langkah terakhir, sedangkan preemptif (cegah dini sebelum terbangunnya potensi gangguan keamanan/ kejahatan), dan preventif atau pencegahan terhadap potensi yang akan berubah menjadi gangguan keamanan/ kejahatan nyata. 

Baca Juga : Pemerhati Suryadi, M.Si: BINTANG TIGA PENSIUN, GERBONG TERAS POLRI BERINGSUT

Baca Juga : Dari Rutan, NB Berpolitik Cari Simpati Masyarakat

Intinya, Polri harus mengutamakan cegah dini dan pencegahan, dalam bentuk langkah-langkah yang melayani. Para petinggi Polri, termasuk Kapolri kerap mengatakan, Polri sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya, harus mampu mengayomi dan melayani sehingga masyarakat merasa diperlakukan secara humanis. Termasuk dalam menindak, ada etika, tata cara, dan prosedur yang harus dipenuhi sebagai bagian dari disiplin Polri (baca: penegak hukum).

Usaha-usaha yang demikian itu, bukan baru dilakukan setelah Mei 1998, melainkan juga sebelumnya. Namun, harus  diakui pula, bahwa hal itu baru dilakukan oleh non-negara, sehingga cenderung parsial atau kelompok kecil dan orang-perorang. Hasilnya, “layu sebelum berkembang” karena menghadapi represivitas  penguasa. 

Misalnya, “perlawanan” serupa itu pernah dilakukan oleh polisi tegas dan jujur, Hoegeng. Sebelum ditetapkan menjadi Kapolri (ke-5, 1968 – 1971), Hoegeng disaksikan oleh calon wakilnya (Teuku Azis), kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, Hoegeng meminta agar “Angkatan lain, tidak mencampuri soal-soal kepolisian. Tetapi, “Bapak Presiden” diam saja. (lihat Yusra dan Ramadhan, 1993: 300). Setelah itu, Polri tetap saja ABRI.

BUKAN HAL GAMPANG
PROSES mengubah dari polisi yang militer menjadi polisi sipil, jelas terkait langsung dengan culture change. Tidak segampang membalikkan telapak tangan. Kultur yang menjadi ciri buruk, dalam konsep kebudayaan akan turun ke generasi berikutnya (lihat Akbar, 2011: 144 – 145). Tegasnya dapat disebut dalam satu kata saja: “terwariskan”.

Jadi, jika pun generasi di Polri terus berganti, tinggalan (buruknya) berlanjut. Meskipun tak sehebat sebelum 1998, kultur lama (main kuasa, bertabiat dan berperilaku koruptif) yang diharapkan cepat terkikis, ternyata tetap hidup terwariskan. Dalam hubungannya dengan kultur lama itu, mungkin harus ada koreksi terhadap interpretasi keliru terhadap “sejahtera” atau “kesejahteraan”.

Pada mereka di internal Polri dan masyarakat umum, kerap keliru memahami bahwa, sejahtera atau kesejahteraan itu identik hanya bisa diraih bila memiliki atau melalui kekuasaan (pangkat, jabatan, dan kewenangan dilihat semata-mata sebagai “power”). Kekuasaan akan secara instan memberi kekayaan materi dan gaji besar. Maka muaranya, memengaruhi pola pikir bahwa kekuasaan akan secara “cepat saji” menyejahterakan. Ketika pandangan semacam ini meningkat menjadi orientasi, jelas merupakan ancaman besar dan deras mendegradasi makna profesi di jalan pengabdian. Cepat saji Vs Semangat Perjuangan!

Hal semacam itu harus dilawan lewat perubahan secara kultural pula. Untuk itu, harus dimulai dari kemauan mengubah “mindset” (pola pikir). Tujuannya, agar mereka memiliki modal awal, yaitu sejahtera atau kesejahteraan dipandang sebagai “Sistem dimana pemerintah menjalankan tanggung jawab utama untuk menyediakan keamanan sosial dan ekonomi penduduknya….” (Setiyono, 2018: 32 – 33, dan lihat secara keseluruhan pasal lain UUD 1945). Jadi jelas, di dalam kesejahteraan, ada faktor keamanan sebagai unsur siginifikan. Tidak main-main.

Secara normatif, tentu sejahtera di Indonesia mengacu pada UUD 1945 dan turunannya termasuk UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Tetapi, saya sependapat bahwa, masifnya prilaku mengayomi dan melayani dari sosok-sosok polisi yang setiap saat merepresentasikan institusi Polri, merupakan resep ampuh bagi terbangunnya kultur Polisi sipil. Tentu, pada saat yang sama, perubahan pemahaman serupa tentang kesejahteraan dapat terwujud pula pada masyarakat yang diayomi dan dilayani.

Di tengah-tengah tuntutan perubahan menjadi Polri berkultur sipil itu, Baintelkam punya peran strategis. Meski, kembali menurut penulis, setidaknya ada beban berat masa lalu yang tidak mudah dihilangkan begitu saja pada masyarakat ketika mendengar kata “intel”. Belum hapus sama sekali dari ingatan kolektif mereka, bahwa intel adalah alat paling efektif dan represif di masa sebelum 1998. Beruntung telah hadir teknologi maju di bidang informasi berciri utama mudah dan cepat, dengan segala plus-minusnya. Kemajuan ini telah sedikit banyak mampu mengubah paradigma itu. Realitas kebenaran kekinian bahwa penegak hukum tidak bisa gegabah represif, bila tidak ingin perbuatannya segera tersebar-luas melalui media sosial (medos). Memang negatifnya, bila kemajuan itu disalahgunakan melalui pola pikir cepat saji alias “cepatnya tarian jari jempol menguasai pola pikir”.

BERKONTRIBUSI
DALAM kondisi masyarakat yang “rendah kesadaran hukum”, duet Dofiri – Merdisyam di Baintelkam Polri, mungkin akan dapat berkontribusi besar dalam upaya-upaya peremptif dan preventif. Jika tidak bisa sebelum semua itu terbangun menjadi potensi dan potensi gangguan keamanan dan kejahatan (PPGKK), sekurangnya pada kasus-kasus yang patut dipandang bakal meresahkan masyarakat. Baik yang berskala daerah, antardaerah maupun nasional, serta yang berskala dan dalam pengaruh gejolak dinamika regional dan internasional.

Bakal PPGKK yang patut diduga benar-benar terjadi akan meresahkan masyarakat itu, antara lain adalah bakal potensi dan potensi pencurian kendaraan bermotor, begal/ rampok, kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak di bawah umur, penganiayaan, dan kekerasan lainnya. Selain itu, juga human trafficking, penyelundupan, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, teroris, dll.

Menilik rekam jejak Dofiri dan Merdisyam, rasanya duet di pucuk Baintelkam Polri ini, akan mampu terlibat dalam upaya-upaya preemptif dan preventif. Masukan yang didasarkan atas relitas ancaman gangguan keamanan dan kejahatan, akan sangat berguna ditindaklanjuti oleh fungsi lain di tubuh Polri, khususnya reserse.

Dengan pengalaman antara lain tiga kali memimpin wilayah (Kapolda Jabar, DIY, dan Banten), Dofiri juga piawai mengelola SDM dan logistik. Di awal karirnya sebagai perwira remaja ia langsung bertugas sebagai kepala Unit Resintel (1990). Sementara Merdisyam sepanjang 30 tahun karir kepolisiannya, delapan kali di antaranya berada dalam jabatan lingkup intelijen kepolisian. Seperti Ahalnya Kabaintekam baru, Merdi juga berpengalaman memimpin kepolisian daerah, yakni Kapolda Sulsel dan Kapolda Sultra.

Jika rekam jejak keduanya itu bukan sebuah jaminan bagi kian bagus dan efektifnya upaya-upaya preemtif dan preventif Polri, maka duet merekalah yang akan bisa menjawab. Masyarakat, akan secara subyektif menilai cuma dari rasa aman yang kian meningkat, beriringan dengan pelayanan polisi yang humanis dalam bingkai penegakkan hukum. Tentu saja, diikuti oleh turunnya instensitas dan kualitas gangguan keamanan dan kejahatan. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *