Oleh : Herlina
Pemerhati Sejarah Wanita Minang
Berbeda kali ini perjuangan bundo Siti dengan yang lainnya, beliau berjuang dengan ikut berjuang melawan Belanda, dan beliau juga ditakuti kaum penjajah, sampai kini gelar pahlawan tidak pernah pernah oleh pemerintah kita, seorang Kartini dianggap pahlawan yang mengangkat derajat kaumnya karna hidup dalam lingkungan keraton dan bersahabat dengan penguasa, namun sejarah tidak akan pernah berubah selama kita mengingatnya.
Kisah bundo Siti Manggopoh yang terlupakan dari catatan sejarah Indonesia. Siti Manggopoh. Nama perempuan asal Minang ini memang tidak bergaung, seperti RA Kartini yang dianggap sebagai tokoh pahlawan Indonesia. Padahal, jika sebaliknya, Siti Manggopoh merupakan pahlawan perempuan dari Minangkabau yang mampu mempertahankan marwah bangsanya, adat, budaya dan agamanya. Tidak, Siti Manggopoh dilaporkan pernah melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang.
Ketika itu, perempuan-perempuan Indonesia yang berpendidikan tinggi sedang mengibarkan bendera perjuangan gender, dan pada saat itu Siti Manggopoh, pejuang dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat muncul sebagai perempuan dengan semangat perlawan terhadap perlawanan yang terjadi di negerinya.
MASA LAHIR
Siti Manggopoh, merupakan perempuan Minang yang memiliki nama Siti. Ia lahir bulan Mei 1880. Nama Manggopoh dilekatkan pada dirinya, karena ia terkenal berani maju dalam perang Manggopoh. Manggopoh itu sendiri merupakan nama negerinya.
Siti merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Kelima kakaknya dengan senang hati menyambut kelahiran Siti, karena Siti adalah anak perempuan pertama sekaligus terakhir yang dilahirkan dalam keluarga mereka. Kelima kakak laki-laki Siti pun selalu mengusung Siti ke mana-mana. Ia membawakan Siti ke pasar, ke kedai, ke sawah, dan bahkan ke gelanggang persilatan.
Siti pun pernah bermain sangat jauh dari kenagarian Manggopoh, bahkan sampai ke daerah Tiku, Pariaman. Tak hanya itu, ketika kakaknya belajar mengaji ke surau, Siti juga diajak dan mengecap pendidikan di surau. Sebagai perempuan Minang, Siti memiliki kebebasan. Ia membangun dirinya secara fisik dan nonfisik. Ia belajar mengaji, bapasambahan dan juga persilatan. kiranya yang menyebabkan Siti berani maju ke medan perang untuk melawan penjajahan Belanda di negerinya.
SITI MENIKAH
Siti menikah dengan Rasyid. Pernikahan mereka ternyata tidak membuat Siti memandang dengan tugas perempuan di dalam rumah tangga. Just bersama suaminya, Rasyid, Siti memiliki semangat dan arah perjuangan yang setujuan. Mereka bahu membahu melepaskan penderitaan rakyat Minangkabau. Kesadaran ini muncul ketika Siti dan Rasyid merasakan bahwa telah terjadi di negerinya oleh pemerintahan Belanda.
Dari catatan yang ada, meski sebagai seorang tokoh pun, ternyata Siti pernah mengalami konflik batin ketika akan melakukan penyerbuan ke benteng Belanda. Ia mengalami konflik ketika rasa keibuan terhadap anaknya yang sedang muncul, padahal di satu sisi, ia merasakan sebuah panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda. Namun, ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat.
Inilah catatan untuk Siti Manggopoh. Ia pun kembali menunaikan tanggung jawab sebagai ibu setelah melakukan penyerangan. Catatan lagi menyatakan bahwa Siti pernah membawa anaknya, Dalima, ketika dibawa ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ditangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Perempuan pemberani Minangkabau, yang berani bertaruh mengikutserakan anaknya ke medan perang, karena kondisi fisik anaknya yang masih kecil.
PAJAK BALESTING
Belasting merupakan tindakan pemerintah Belanda yang menginjak harga diri bangsa Minangkabau. Rakyat Minangkabau merasa terhina ketika mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun-temurun. Apa-apakah peraturan belasting bertentangan dengan adat Minangkabau. Di Minangkabau, tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.
- Baca Juga : Waspada Child Grooming Terhadap Anak
Kesewenang-wenangan Belanda dalam memungut pajak di tanah kaum sendiri, membuat rakyat Minangkabau melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut juga tidak bisa dilupakan oleh Belanda, karena adanya sebuah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi Siti Manggopoh pada masa itu, bahkan meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh.

Siti Manggopoh memang membangun dirinya dengan kecerdasan sejak kecil. Hal inilah yang dimunculkannya ketika menyusun siasat yang diatur sedemikian rupa. Dia dan pasukannya berhasil membuat 53 orang serdadu menjaga benteng. Siti memanfaatkan secara naluriah keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayan mereka.
PEMBANTAIAN TENTARA BELANDA.
Di markas belanda di manggopoh, sewaktu tentara belanda sedang mengadakan pesta judi dan mabuk-mabukan seorang wanita cantik, yang sebenarnya adalah Siti, buruan pemberontak yang paling di cari tentara belanda. Siti lansung membaur dengan para tentara yang sedang mabuk itu.
Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, puluhan puluhan tentara belanda tak sadarkan diri, melihat peluang tersebut segera memberi kesempatan kepada para pelayan yang menunggu di luar untuk segera menyerang.
Para merebut markas belanda dan membantai tentara belanda teresebut, tercatat 53 orang tentara belanda tewas dan 2 orang berhasil menyelamatkan diri dalam luka parah ke lubuk basung.
Hasil, dalam Perang Manggopoh, Siti memenangkan pertarungan dengan Belanda. Ia berhasil menyelamatkan bangsanya dari penjahahan. Oleh sebab itu, sejarawan Minangkabau mencatat Siti Manggopoh sebagai satu-satunya perempuan Minangkabau yang berani menjalankan gerakan sosial untuk mempertahankan nagarinya terhadap pengaruh asing. Bahkan tidak jarang gerakan yang dilancarkannya secara fisik.
Perebutan benteng yang dilakukan Siti menyulut Perang Manggopoh. Sayangnya, seorang serdadu Belanda selamat dan berhasil melihat Mande Siti dan rakyat Menggopoh melakukan aksi penyerangan.Akhirnya Siti bersama sang suami, Rasyid Bagindo Magek, ditangkap dan dipenjarakan tentara Belanda. Tapi, karena memiliki bayi, Siti terbebas dari hukuman pembuangan.
Siapa sebenarnya pelaku utama perang anti-belasting tersebut? Ia adalah wanita pejuang yang berasal dari Manggopoh, kecamatan Lubuk Basung, Kab. Agam. Ia biasanya dipanggil dengan Mande Siti.. ia dijuluki “Singa Betina Dari Manggopoh”. Ia populer karena keberanian dan kegigihannya dalam melawan pemerintah Belanda di Minangkabau.
Keesokan harinya Mande Siti dan suaminya dicari oleh prajurit Belanda. Setelah 17 hari mengejarnya, Mande Siti dan suaminya menyerahkan diri kepada Belanda. Belanda langsung memasukkan Mande Siti dan Suaminya ke penjara secara terpisah. Sebelum menerima keputusan pengadilan, Mande Siti dan Suaminya mendekam dipenjara selama 14 bulan di penjara di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman dan 12 bulan di Padang. Setelah dua kali sidang akhirnya Mande Siti dijatuhi hukuman seumur hidup. Tetapi karena hal lain, akhirnya hukuman tersebut dibatalkan. Namun, suami Mande Siti, Rasyid divonis hukuman dibuang ke Menado. Akibat Mande Siti dan Rasyid jadi hidup berpisah. Akhirnya Rasyid meninggal di Tondano.
Mande Siti masih sempat menikmati alam kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sayangnya, ketika banyak orang yang lupa akan jasa perjuangan Mande Siti. Baru pada tahun 1957, orang mengingat akan perjuangan heroik Mande Siti. Pemerintah Sumatera Tengah yang beribukota di Bukittinggi mengirim satu tim ke Lubuk Basung dan memberikan bantuan sesuai kadarnya. Mande Siti merasa senang. Bantuan yang saya terima dijadikannya sebagai modal untuk membuka warung kecil di depan rumahnya.
Pada tahun 1960, Kepala Staf Angkatan Darat Jend. Nasution mendengar cerita heroik perjuangan Mende Siti. Ia sangat tertarik sekali atas keperkasaan Mande Siti. Akhirnya memutuskan untuk datang ke Manggopoh untuk menemui Mande Siti. Ia mengalungkan selendang kepada Mande Siti sebagai lambang kegigihan dan keberaniannya melawan musuhan. Masyarakat Manggopoh jadi haru ketika Jend. Nasution membopong dan mencium wajah tua keriput Mande Siti. Pada tahun 1964, Menteri Sosial mengeluarkan Sk tertanggal 17 November 1964 No. Pal. 1379/64/PK yang isinya menyatakan bahwa Mande Siti berhak menerima tunjangan atas jasa kepahlawanannya sebesar Rp 850,-. Tetapi entah mengapa Mande Siti hanya sekali saja menerima tunjangan tersebut.
Dalam usia 85 tahun (1965), Mande Siti meninggal dunia. Ia meninggal dengan tenang dirumah cucunya dikampung Gasan dan dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Lolong, Padang.
“Aku Bangga Menjadi Anak Minangkabau”
Dikutip Dari : Poskota.net