Oleh: Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
Bangkitkomunika. Jakarta – Fenomena kehadiran relawan diiniasikan oleh Joko Widodo (Jokowi) ketika maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Ketika berkompetisi dalam kancah Pemilihan Presiden (Pilpres), keberhasil Jokowi terpilih sebagai Presiden hingga dua kali periode jabatan tak bisa dilepaskan dari kerja keras simpul-simpul relawannya. Relawan sebagai pendukung Jokowi adalah relawan yang solid dan loyal kepada Jokowi.
Fenomena kehadiran relawan sebagai pendukung calon presiden menunjukkan antusias masyarakat dalam menyambut pesta demokrasi. Walaupun relawan juga tak selalu dalam posisi yang positif, sebab menjamurnya relawan di era reformasi ini malah menunjukkan ketidakpercayaan tokoh yang dicalonkan kepada sumber daya manusia dari kader-kader partai sebagai mesin partai untuk memenangkan calon tersebut.
Pesta demokrasi di Indonesia bagi pemilih memang masih sangat ditentukan oleh sosok calon yang diusung, dibandingkan dengan partai politiknya dan koalisi partai pengusungnya. Sekali lagi ditegaskan, fenomena relawan tak melulu murni didasari oleh kesadaran masyarakat, tetapi juga dibangun dan dikomandoi oleh elite-elite partai. Elite-elite partai sebagai pembentuk dari kehadiran berbagai simpul relawan di tenggarai dalam dua asumsi yakni pertama, elite partai itu tersingkir sebagai tim kampanye nasional pendukung tokoh tersebut, dan kedua, kebutuhan relawan ditenggarai karena kesempatan memasuki daerah yang dikuasai oleh lawan politiknya masih terbuka dimasuki oleh relawan dibandingkan oleh kader-kader anggota internal dari partai politik.
Meski begitu, kehadiran relawan Jokowi yang solid dan loyal ini ternyata malah membuat tidak fokusnya Jokowi sebagai presiden untuk lebih mementingkan kepentingan rakyat dan fokus dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan rakyat. Rakyat sedikit terpinggirkan dengan urusan “kapal” besar relawan Jokowi. Presiden Jokowi acap disibukkan untuk memerhatikan dan mengedepankan politik balas budi terhadap relawan pendukungnya yang telah sukses mengantarkannya hingga duua periode.
Kompetisi menjadi Tak Sehat
Presiden Jokowi telah mengatakan kepada relawan-relawan pendukungnya untuk sabar dan menunggu waktu yang tepat. Presiden Jokowi sendiri yang menjanjikan akan mengemudikan dan mengarahkan “kapal” besar relawan Jokowi untuk berlabuh dengan memberikan dukungan kepada tokoh yang memang telah ditunjuk dan dipercaya oleh Presiden Jokowi.
Langkah taktis yang Jokowi kemukakan ini menunjukkan Presiden Jokowi telah melakukan tindakan politik yang tak etis. Semestinya Jokowi sebagai Presiden menghadirkan wajah demokrasi bersifat terbuka. Apalagi Presiden Jokowi juga sudah tidak lagi dapat mencalonkan diri sebagai Presiden karena aturan konstitusional mengenai ketentuan dua periode jabatan sebagai Presiden. Sehingga ia semestinya bisa lebih fokus memerhatikan dan mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan melanjutkan syahwat politiknya.
Pernyataan dari Jokowi sebagai penguasa politik saat ini tentu saja membuat kompetisi menjadi tidak sehat. Langkah politik dari tokoh-tokoh yang berniat maju sebagai calon presiden akan terbatasi. Mereka malah fokus dan repot dalam mencari perhatian kepada presiden dibandingkan mendekati rakyat. Sebab, mereka berharap akan terpilih sebagai sosok calon presiden yang ditunjuk langsung oleh Jokowi sebagai tempat berlabuhnya “kapal” besar relawan Jokowi.
Baca Juga : Suryadi, M.Si dan Efriza, M.Si Hoegeng Dihormati Dunia, Polri Patut Konsisten Perangi Korupsi
Presiden Jokowi memang ditenggarai memiliki keinginan agar kebijakan politik yang sudah direncanakannya maupun yang masih berjalan dapat dilanjutkan oleh presiden terpilih berikutnya. Keinginan Presiden Jokowi dirasakannya tepat karena ia memiliki dukungan “kapal” besar relawan Jokowi yang telah terbukti sukses tersebut. Presiden Jokowi memang ingin menempatkan dirinya sebagai ‘king maker’ politik yang amat menentukan tentang siapa sosok calon presiden berikutnya.
Kebulatan tekad ini di tenggarai karena selain agar dapat ikut campur dalam proses penentuan kebijakan dari calon presiden mendatang, juga untuk kepentingan memberikan tekanan sekaligus menunjukkan posisi tawar antara Jokowi dengan ketua-ketua umum partai politik. Inilah makna komunikasi politik mengenai “kapal” besar relawan Jokowi yang disampaikannya.
Langkah taktis politik ini, untuk saat ini, memang dapat menghadirkan kesolidan dan loyalitas dari para pembantu presiden dari kalangan profesional maupun elite-elite partai politik. Mereka akan cenderung untuk menahan diri, namun situasi ini layaknya “bara” dalam sekam. Pemerintah malah direpotkan dengan mengurusi kelanjutan estafet tongkat kepemimpinannya dibandingkan bekerja keras untuk kepentingan rakyat di akhir masa jabatannya.
Perlu diingatkan bahwa jangan dilupakan potensi terjadinya de ja vu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dapat saja mengulangi kegagalan melanjutkan kepemimpinan seperti menuju Pilpres 2004 silam. Pemerintahan mengalami perselisihan antara pembantu presiden dan Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu. Susilo Bambang Yudhono (SBY) saat itu cerdas memainkan situasi politik di kabinet, komunikasi politik dari Presiden Megawati yang turut campur dalam kontestasi politik elektoral di Pilpres, malah kian menghadirkan blunder komunikasi politik berikutnya dari Istana. Akhirnya, PDI Perjuangan kehilangan kesempatan kedua sebagai pemimpin pemerintahan saat itu.
Sebaiknya, Presiden Jokowi mencontoh perilaku SBY dalam menyikapi persiapan politik elektoral di akhir masa jabatannya. SBY tak turut campur dalam kompetisi elektoral, dengan menempatkan posisi pemerintah bertindak netral terhadap sosok-sosok yang memiliki keinginan sebagai calon presiden/wakil presiden. Presiden SBY ketika itu juga lebih menunggu keinginan transisi politik pemerintahan dari presiden terpilih Jokowi saat itu. Komunikasi baru terbangun terkait perkembangan berbagai kebijakan yang direncanakan maupun yang sedang dijalankan ketika Jokowi sebagai presiden terpilih membangun komunikasi dengan SBY sebagai presiden untuk menghasilkan transisi politik pemerintahan dengan semangat persatuan dan kesatuan negara.
Baca Juga : Keputusan Tidak Konsisten Pemerintah Menyikapi Nataru dan Covid-19
Potensi Konflik
Tak dipungkiri kemungkinan besar bahwa relawan Jokowi akan mengikuti apa yang diarahkan oleh Presiden Jokowi. Berdasarkan data survei Parameter Politik Indonesia pada Desember 2021 lalu, menjelaskan bahwa simpul relawan Jokowi yang pasti mengikuti Jokowi sekitar 14,3 persen, yang mempertimbangkan 46 persen, dan yang tak ngikuti 27 persen. Ini artinya, sekitar 73 persen relawan Jokowi akan menunggu dan mengikuti arahan Presiden Jokowi, angka ini juga menunjukkan Jokowi effect di Pilpres 2024 kemungkinan kuat terjadi (Detiknews, 6/2/2022).
Namun, bagi penulis, meski begitu, relawan yang patuh ini diyakini umumnya yang di dalam komposisi kepenguruan institusi dari relawan itu adanya elite partai yang satu partai dengan presiden Jokowi.
“Kapal” Besar Relawan Jokowi memang cukup mengiurkan bagi tokoh-tokoh yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden.
Dengan konsep berjaring dari pusat hingga ke daerah-daerah, dengan struktur yang terkonsolidasi dengan baik, dan sudah terbukti memenangkan Jokowi hingga dua periode jabatan presiden, maka siapa yang tak akan tergiur. Meski begitu, kapal besar relawan Jokowi ini juga akan mudah mengalami perpecahan. Ketika Presiden Jokowi terlalu berlarut dan tak bisa memberikan kepastian akan sosok yang memang potensial untuk memenangi pencalonan pada Pilpres 2024 mendatang.
Jokowi bukan tidak pernah mengalami direpotkan bahkan dilecehkan oleh relawan pendukungnya. Seperti yang dilakukan oleh Pro Jokowi (Projo), yang berhasil membuat Presiden Jokowi mengabaikan hak prerogatifnya dalam pembentukan kabinet. Tekanan yang dilakukan oleh Projo dengan ancaman akan meninggalkan kebersamaan mereka, ditenggarai karena tidak mendapat kursi pada pembentukan kabinet.
Sedangkan pada saat yang lain, rivalnya Presiden Jokowi di Pilpres yakni Prabowo dengan Partai Gerindranya malah memperoleh kursi di kabinet. Tekanan itulah yang menyebabkan Presiden Jokowi akhirnya ditenggarai menambahkan kursi wakil menteri untuk mengakomodir relawan Jokowi.
Semestinya, kejadian itu menjadi pelajaran berharga bagi Presiden Jokowi. Kemungkinan relawan pendukung Jokowi akan setia kepada Jokowi hanya bisa diperkirakan sampai tahun 2022 ini.
Tatkala periode sibuk menjelang riuh-rendah tentang koalisi dan panentuan pasangan calon, kemungkinan “kapal” besar relawan Jokowi dapat terjadi akan “menabrak” karang.
Persepsi ini didasari atas, Presiden Jokowi adalah kader ideologis PDI Perjuangan sehingga besar kemungkinan “kapal” besar relawan Jokowi berlabuh kepada calon yang diusung oleh PDI Perjuangan, yang ditentukan oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Benih konflik dapat hadir disini, ketidaksepakatan antara Presiden Jokowi dan relawan-relawan politik pendukungnya terhadap sosok calon presiden dan sekaligus paket pasangan calon tersebut. Jika ternyata yang diajukan oleh PDI Perjuangan bukan calon yang populer dan berelektabilitas tinggi misalnya, tetapi malah calon yang diusung hanya sekadar mengakomodir bahwa ia adalah trah Soekarno sekaligus anak personalisasi partai dari PDI Perjuangan, pisah jalan antara Jokowi dengan simpul-simpul relawannya rentan terjadi.
Relawan Jokowi tentu saja tidak serta-merta akan selalu patuh kepada Presiden Jokowi. Sebab, langkah pragmatis akan lebih mendahului loyalitas dalam perhitungan politik. Mereka akan lebih memikirkan peluang dan kesempatan yang hadir dan terbuka dalam mendapatkan kesempatan jabatan maupun sumber-sumber dana dari keikutsertaan relawan mendukung calon maupun pasangan calon tersebut.
Ini menunjukkan taktis Presiden Jokowi dapat saja akan berakhir sia-sia, jika ternyata “kapal” besar relawan Jokowi malah tak tentu arah dalam kesepakatan tempat berlabuh, saling berseberangan, bahkan meninggalkan kebersamaan yang telah terbangun sejak lama. Namun yang patut diingat bahwa keinginan Presiden Jokowi untuk melabuhkan “kapal” besar relawan Jokowi telah menunjukkan Istana memilih dan mengambil keputusan negatif dengan berdemokrasi tak netral dan tak sehat. (*)